Pembuka
Abad ke-21
adalah milenium baru yang penuh misteri. Namun kita ketahui bersama bagaimana
di awal millenium baru tersebut peristiwa 11 September mendesak nurani dunia.
Disusul peristiwa-peristiwa terorisme di Indonesia sebagai imbas darinya. Sebut
saja bom Bali 1 dan 2, juga bom di hotel J.W. Marriot. Juga tak akan pernah
lupa kasus “peperangan” antar agama di Ambon, penembakan jama’ah di sebuah
tempat ibadah, hingga pengeboman di tempat-tempat ibadah. Bahkan
sampai-sampainya pelarangan pembangunan tempat ibadah dan pengekangan terhadap
kebebasan beribadah yang keduanya merupakan cermin ketidakadilan. Bahkan tak
akan kita lupakan dan kitapun bersama mengutuk atas peristiwa bom bunuh diri di
Masjid Mapolresta Kota Cirebon, dengan pelaku treoris bernama M. Syarif. Hingga
keterkaitan terorisme dengan NII yang notabene memiliki ideology
radikal-konservatif. Akhir-akhir ini terjadi pengeboman Gereja di Solo. Masih
di Solo, teror tembakan terjadi di pos Polisi. Akhirnya kesatuan dan kedamaian
di bumi ini, khususnya di Negara kita seolah tergadaikan begitu saja. Ini semua
adalah kondisi yang memperihatinkan dimana sikap toleransi (tasamuh)
antar umat beragama kian hari semakin tak bernyawa.
Berbagai
peristiwa terorisme tadi mewujudkan betapa toleransi harus menjadi pola
komunikasi antar warga. Terlepas dari perbedaan agama, suku, etnis, budaya dan
Negara juga status sosial. Dengan sikap toleran inilah diharapkan terciptanya
kerukunan antar warga yang relasinya akan menciptakan dunia yang damai.
Perdamaian dengan tidak pertumpah darahan. Perdamaian dengan tidak adanya
kelompok yang merasa di marjinalkan. Untuk itu penulis rasa perlunya memahami
toleransi sebagai sebuah jalan menuju perdamaian yang diharapkan tadi. Meski
perlu disadari benturan-benturan peradaban memang tak dapat disangkal secara
empiris. Namun kita tidak boleh menyerah pada realita empiris dan terus
memelihara harapan akan terwujudnya perdamaian yang penuh toleransi.
Memahami Toleransi Antar Umat Beragama
Kita
sering bertanya, apa itu toleransi dan dari mana datangnya?. Dan apa urgensi
toleransi bagi masa depan umat manusia?. Pertanyaan-pertanyaan ini paling tidak
akan menjadikan kita faham akan arti pentingnya toleransi. Toleransi yang bukan
sekedar dalam wacana semata.
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu
sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.
Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan.
Dalam
bahasa Arab, toleransi biasa disebut “tasamuh” yang artinya sikap
membiarkan, lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan)
artinya: murah hati, suka berderma (kamus Al Munawir hal.702).
Agama
adalah elemen fundamental hidup dan kehidupan manusia, oleh sebab itu,
kebebasan untuk beragama [dan tidak beragama, serta berpindah agama] harus
dihargai dan dijamin. Ungkapan kebebasan beragama memberikan arti luas
yang meliputi membangun rumah ibadah dan berkumpul, menyembah; membentuk
institusi sosial; publikasi; dan kontak dengan individu dan institusi dalam
masalah agama pada tingkat nasional atau internasional.
Kebebasan
beragama, menjadikan seseorang mampu meniadakan diskriminasi berdasarkan agama;
pelanggaran terhadap hak untuk beragama; paksaan yang akan mengganggu kebebasan
seseorang untuk mempunyai agama atau kepercayaan. Termasuk dalam pergaulan
sosial setiap hari, yang menunjukkan saling pengertian, toleransi, persahabatan
dengan semua orang, perdamaian dan persaudaraan universal, menghargai
kebebasan, kepercayaan dan kepercayaan dari yang lain dan kesadaran penuh bahwa
agama diberikan untuk melayani para pengikut-pengikutnya. Jadi,
toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati
keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain.
Termasuk
agama Islam. Islam mengajarkan betapa pentingnya toleransi. Nabi Muhammad SAW.
mengajarkan Islam sebagai agama kasih sayang dan menolak kekerasan yang dapat
memicu konflik. Nabi juga melindungi minoritas dalam melaksanakan ibadah sesuai
keyakinannya. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan bahwa Nabi
Muhammad pun pernah meminta tiga orang Pendeta Kristiani yang datang dari
Najran (provinsi timur di Arab Saudi) untuk beribadah menurut agama mereka di
Masjid. Pernah juga diceritakan pada suatu hari ada orang Arab pedalaman
kencing di masjid Nabi di Madinah. Terang saja para sahabat geram dan ingin
memukul orang itu. Namun, Rasulullah SAW mencegahnya, dan kemudian menyuruh
para sahabat ‘kerja bakti’ menyiram dan membersihkan air seni laki-laki tak
kenal sopan santun itu. (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Menurut Ibn Hajar
al-Asqalani, pengarang Kitab Fath al-Bari, riwayat ini memperlihatkan
dengan jelas sikap toleransi Nabi SAW dan keluhuran budi pekertinya.
Contoh
lain tentang perlakuan Islam terhadap non-Islam adalah kemurahan hati yang
diperlihatkan oleh Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1188 M saat dia berhasil
merebut kembali Yerussalem dari tentara salib. Ketika Salahuddin tiba ia
menyaksikan pasukan salib sedang mengotori masjid dengan menyimpan babi di
dalamnya. Bahkan para ahli sejarah Eropa pun mengakui bahwa Salahuddin tidak
membalas dendam, melainkan memberikan maaf kepada pasukan salib, dengan
pengecualian segelintir individu yang memang berprilaku sadis dan kejam.
Sekali
lagi perbedaan atau pluralisme adalah anugerah terbesar dan terindah dari Tuhan
YME kepada kita. Demikian pula dengan toleransi, “Toleration is the greatest
gift of the mind,…- Toleransi adalah anugrah dari pikiran yang paling luar
biasa,” ucap Helen Keller. Dan pemahaman yang terbuka terhadap yang-lain itulah
yang dikenal dengan istilah toleransi. “Toleransi itu berarti saya tidak akan
membuang engkau keluar dari komunitas saya, saya tidak akan berhenti
berinteraksi dengan kamu sekalipun kamu berbeda, saya tidak akan melarang kamu
untuk menjadi tetangga saya,” begitulah John E. Esposito menggambarkannya.
Pentingnya Kerukunan Antar Umat
Beragama
Menurut
Prof. Dr. Gumilar Rusliwa Somantri (Rektor UI Jakarta), modus hubungan antar
manusia di bumi ini hanya ada dua: Konflik dan Harmoni. Konflik dimotori oleh
egoism baik individu maupun kelompok yang berujung pada keengganan untuk
berdialog. Dengan karakteristiknya yang egoism maka perilaku ini akan
mengerdilkan kemanusiaan sekaligus membuat kebudayaan menjadi statis. Individu
atau kelompok menjadi eksklusif satu sama lain sehingga tidak dapat melihat
sisi manusiawi individu atau kelompok lain. Yang lain hanya akan dicap sebagai
“musuh” yang harus segera diwaspadai dan apabila perlu dihancurkan. Sedangkan
harmoni, sebaliknya, bekerja dengan relasi resiprokal antar individu atau
kelompok berbasis toleransi, kepercayaan dan harga diri.
Dengan
begitu Perdamaian hanya akan terjadi jika segala jenis konflik baik Ideologi,
Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya (IPOLEKSOSBUD) yang mengarah pada
disintegrasi kerukunan antar umat beragama di minimalisir sedini mungkin untuk
kemudian di tiadakan. Dengan begitu diharapkan terciptanya kerukunan umat. Pada
akhirnya dengan kerukunan tersebut akan melahirkan harmonisasi yang penuh
toleransi dan perdamaian dapat terwujud.Toleransi
dan kerukunan antar umat beragama bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa
dipisahkan satu sama lain. Kerukunan berdampak pada toleransi; atau sebaliknya
toleransi menghasilkan kerukunan; keduanya menyangkut hubungan antar sesama
manusia. Jika tri kerukunan [antar umat beragama, intern umat seagama,
dan umat beragama dengan pemerintah] terbangun serta diaplikasikan pada hidup
dan kehidupan sehari-hari, maka akan muncul toleransi antar umat beragama. Atau,
jika toleransi antar umat beragama dapat terjalin dengan baik dan benar, maka
akan menghasilkan masyarakat yang rukun satu sama lain.
Toleransi
antar umat beragama harus tercermin pada tindakan-tindakan atau perbuatan yang
menunjukkan umat saling menghargai, menghormati, menolong, mengasihi, dan
lain-lain. Termasuk di dalamnya menghormati agama dan iman orang lain;
menghormati ibadah yang dijalankan oleh orang lain; tidak merusak tempat ibadah;
tidak menghina ajaran agama orang lain; serta memberi kesempatan kepada pemeluk
agama menjalankan ibadahnya. Di samping itu, maka agama-agama akan mampu untuk
melayani dan menjalankan misi keagamaan dengan baik sehingga terciptanya
suasana rukun dalam hidup dan kehidupan masyarakat serta bangsa. Jika semua
orang menjalankan agamanya masing-masing dengan sebenar-benarnya, maka sudah
pasti akan melahirkan kedamaian, ketentraman hidup dan kerjasama sosial yang
sehat.
Toleransi
dan pluralisme tidak perlu disikapi sebagai ancaman akidah, karena setiap orang
memiliki preferensinya sendiri-sendiri. Sebagaimana baju yang saya pakai, belum
tentu nyaman dipakai oleh orang lain. Berdakwah kepada non muslim dalam rumusan
ini, tidak lagi identik dengan mengkonversi iman mereka, tapi cukup mengajak
mereka melakukan kerjasama sosial yang sehat. Inilah toleransi yang benar dan
sehat, yang semestinya dijadikan rujukan dakwah oleh para da’i dan ulama-ulama
di nusantara. Di atas segala perbedaan yang ada, dengan semangat toleransi
kita akan mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar dan kemampuan meningkatkan
nilai diri kita sebagai manusia yang berakal dan berhati nurani.